Rabu, 15 Desember 2010

TASYRI’ PERIODE KELIMA DAN SUMBERNYA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H, merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan kembali fiqih islam. Bagi banyak pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan fiqih pada khususnya, pada intinya adalah sejarah dampak Barat terhadap masyarakat Islam, khususnya sejak abad ke-13 H. mereka memandang Islam sebagai suatu masa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengeruh yang formatif dari Barat.
Kemajuan fiqih Islam pada periode ini sangat mempengaruhi berbagai aspek yang dibutuhkan dalam tatanan kembali fiqih Islam. Sehubungan dengan aspek tersebut, maka marilah kita membaca dan membahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tasyri’?
2. Pada periode berapakah kebangkitan fiqih Islam terjadi?
3. Dalam bidang apa saja fiqih Islam mulai menampakkan kemajuannya?
4. Bersumber pada apa sajakah ilmu fiqih Periode kelima ini?





BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Tasyri’
Tasyri’ adalah apa yang diturunkan Allah SWT untuk hambaNya berupa manhaj (jalan) yang harus mereka lalui dalam bidang aqidah, muamalat dan sebagainya. Termasuk di dalamnya masalah penghalalan dan pengharaman. Dalam masalah penghalalan dan pengharaman tersebut, Allah telah menghalalkan apa yang telah dihalalkan dan mengharamkan apa yang telah diharamkan. Firman Allah SWT dalam surat An-Nahl;
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”

Allah telah melarang penghalalan dan pengharaman tanpa dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan Dia menyatakan bahwa hal itu adalah dusta atas nama Allah. Sebagaimana Dia telah memberitahu-kan bahwa siapa yang mewajibkan atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil maka ia telah menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam hal tasyri’.

2. Periode kebagkitan fiqih Islam

2.1 Kondisi Awal pada Masa Kebangkitan Fiqih
Periode ini, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, disebut juga periode Renaissance, berlangsung sejak abad ke-13 H sampai sekarang (abad ke-20 M). disebut periode kebangkitan fiqih karena pada masa ini timbul ide, usaha dan gerakan-gerakan pembebasan dari sikap taklid yang terdapat dalam umat Islam dan dalam ilmu pengetahuan Islam. Gerakan ini timbul setelah munculnyakesadaran umat Islam akan adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin yang disebabkan oleh adanya penetrasi Barat dalam berbagai bidang kehidupan sehingga menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan di berbagai negeri Islam. Diantaranya di Hijaz, pada abad ke-13 H, (abad ke-18 M), muncul suatu gerakan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1206 H). gerakan ini menyerukan pembasmian bid’ah dan mengajak umat Islam untuk kembali pada Al-Qur’an sdan As-Sunnah, serta amalan-amalan ulama sahabat dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Gerakan ini diikuti oleh sejumlah geraka yang dipelopori beberapa ulama, seperti Muhammad bin Sanusi di Libya dan Afrika Utara, Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, Al-Mahdi di Sudan. K.H Muhammad Dahlan, H.A Karim Amrullah, dan T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy di Indonesia, dan masih banyak lagi.
Pada dasarnya, gerakan ini menyeru pada kebangkitan umat Islam, pengusiran terhadap penjajah, pengenbangan ilmu pengetahuan Islam, meninggalkan taklid buta dan bid’ah, dan kembali ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mengikuti metode ulama salaf (ulama sahabat dan ulama-ulama sebelum masa kemunduran). Seruan ini senada dengan apa yang telah dikumandangkan oleh Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim pada periode yang lalu. Dengan usaha mereka inilah, muncul corak baru dalam mempelajari fiqih, yaitu kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menyelesaikan masalah-masalah hokum sesuai dengan hajat dan perkembangan masyarakat.
Majalah Al-Urwah Al-Wutsqa dan Majalah Al-Manar digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan tersebut keseluruh dunia Islam sehingga lahirlah ulama-ulama merdeka disetiap negeri Islam yang diangga dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat di dalam masalah-masalah keagamaan.
Pengaruh yang ditinggalkan pada periode ini adalah:
1. Usaha pengkajian dan penulisan kitab-kitab fiqih.
2. Usaha menyusun hokum-hukum fiqih secara sistem undang-undang tanpa membatasi diri dengan madzhab tertentu.
Metode pengkajian umumnya melalui sistem perbandinagn, yaitu mempelajari pendapat semua fuqaha dari semua madzhab, kemudian membandingkan satu sama lainnya dan dipilih satu pendapat yang dianggap lebih benar. Adapun cara penulisan pada fase ini umumnya terfokus pada kajian hokum tertentu, seperti kitab khusus mengenai mu’amalat, jinayat, dan sebagainya.
Usaha menyusun fiqih secara undang-undang sebenarnya sudah dilakukan sejak pemerintahan Abbasiyah. Sebagai contoh, UU tentang keiangan (perpajakan) yang dikenal dengan kitab Al-Kharaj yang disususn oleh Abu Yusuf atas permintaan Khalifah Harun Al-Rasyid. Usaha tersebut pada masa ini lahir kembali dalam bentuk yang lebih dibentuk oleh pemerintahah Kerajaan Usmani telah berhasil menyusun kitab UU Perdata yang terdiri dari 1985 pasal. Pada tahun 1328 H, disusun pula UU keluarga yang diambil dari madzhab Hanafi. (Dedi Supriyadi. Sejarah Hukum Islam. Hal 121. 2007)

2.2 Format Kebangkitan Fiqih sampai Sekarang
Kebangkitan fiqih pada masa ini dapat dilihat sebagai berikut; Pertama, munculnya kecenderungan baru dalam mengkaji fiqih Islam tanpa harus terikat denga madzhab tertentu. Fanatisme madzhab yang membelenggu umat selama tujuh abad, mereka sadari sebagai malapetaka. Hal ini tentu sangat positif karena melahirkan postulat, “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
Kedua, berkembangnya kajian fiqih muqaran (fiqih perbandinagn). Perbandingan tidak hanya terfokus pada internal, madzhab-madzhab fiqih melainkan merambah perbandingan antara hukum Islam dan hukum posifif Barat.
Dalam analisis lain, periode ini dikenal dengan periode kodifikasi hukum Islam di berbagai negara. Hal ini disinggung oleh Mustafa Ahmad Az-Zarqa bahwa periode kodifikasi ini dimulai sejak munculnya majalah Al-Ahkam Al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqih pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan madzhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertahanan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatka pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk kedalam hukum yang berlaku dinegara muslim. Disamping bermunculan pula ulama fiqih yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqih dari keterikatan madzhab tertentu dan mencanangkan penggairahan kembali ijtihad.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususya pada zaman modern, ulama fiqih mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai madzhab sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antara pengikut madzhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-jauziah mencanagkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Pendapat kedua tokoh ini oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sejak saat itu, kajian fiqih tidak lagi terikat pada salah satu madzab, tetapi telah mengambil bentuik kajian komparatif dari berbagai madzhab, yang dikenal dengan istilah fiqih muqaran.
Tradisi penulisan kitab atau buku ini tidak hanya merambah dari cara tradisional, tetapi melibatkan pula model-model modern. Berbagai pasca pembaharuan pasca- Muhammad Abduh, Ridha, Al-Afghan, terus bermunculan dengan tema pembaharuan.
Gamal Al-Banna adik kandung Hasan Al-Banna mengemukakan, “tidak ada hari tanpa pembaharuan.” Inilah ungkapan yang cocok untuk melukiskan sosok tokoh kelahiran 15 Desember 1920 ini. Di mana ia berada disanalah arus pembaharuan mengalir deras dari tokoh yang telah melahirkan ‘segudang’ karya ini. Di Mesir, ia telah menerbutkan banyak buku yang telah Kontroversial. Di antaranya, Mahwa Fiqhim Jadid (Menuju Fiqih Baru), Al-Islam Laisa Dinun Wadaulah,Walakin Dinun Maummah (Islam adalah Agama dan Umat, Bukan Agama dan Negara), Tatswirul Quran (Revolusi Al-Qur’an), Al-Ashlani Al-‘Adzimani; Ru’yah Jadidah (Duan Fondasi Agung: Al-Qur’an dan As-Sunnah, Sebuah pandangan Baru), Mathlabuna AlAwwal Awwal Hua Al-Khurriyah (Kebebasan adalah Pertama dan Utama), At-Ta’addudiyah Fil Mujtama’ Al-Islami (Pluralisme dalam Masyarakat Islam), dan banyak buku lainnya.
Dalam pembaharuan bidang fiqih, Gamal Al-Banna meluncurkan bukunya yang berjudul Nahwa Fiqhin Jadid (Menuju Fiqih Baru) jilid pertama. Kemudian, disusul dengan jilid kedua (1997), dan terakhir jilid ketiga (1999). Tombak pembaharuan fiqih Gamal langsung ‘menusuk’ jantung persoalan, yaitu dasar hukum Islam. Sebagaimana dimaklumi, dasar hukum Islam yang popular selama ini adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Dengan buku ini, Gamal merombak dan menata ulang dasar Hukum Islam diatas menjadi Akal, Nilai-nilai Univeresal Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Adat Istiadat. Suatu terobosan pemikiran yang belum pernah ada di masa dahulu.
Tak sedikit tokoh apresiatif terhadap gagasan Gamal Al-Banna ini. Di antaranya adalah Prof. Dr. Khalid Abou el-Fadl (pakar hukum Islam di Universitas California) dan Hasyim Shaleh (spesialis penrjemahan karya-karya Arkoun).
Namun demikian, sosok pemikir yang mempunyai kepedulian terhadap kaum buruh ini tidak pernah berubah karena sanjunagan dan hantaman. Di Indonesia misalnya, banyak tokoh yang menampilkan wawasan fiqih yang bernuansareformis dan dinamis, seperti Ali Yafie, Hasbi Ash-Shiddiqie, Abdurrahman Wahid, dan tokoh lainnya.

3. Bidang Kemajuan
a. Di bidang Perundang-undangan
Periode ini dimulai dengan masa berlakunya Majalah al-Ahkam al-Adliyah yaitu kitab undang-undang Hukum Perdata Islam pemerintahan Turki Usmani pada tahun 1292 H atautahun 1876 M. baik bentuk maupun isi Kitab UU tersebut berbeda dengan bentuk isi kitab fiqh dari salah satu madzhab tertentu. Bentuknya adalah bentuk dan isi madzhab tertentu saja. Meskipun warna Hanafi sangat kuat.
Di Mesir dengan keluarnya Undang-undang No. 25 Tahun 1920 M, dalam sebagian pasal-pasalnya dalam hukum keluarga tidak menganut madzhab al-‘Arba’ah. Kemudian dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1929 M, juga tentang hokum keluarga maju selangkah yaitu tidak hanya mengambil dari Mazahib al-‘Araba’ah tetapi juga dari madzhab lain. Pada tahun 1936 M, Undang-undang Hukum Keluarga tadak mengikat diri secara ketat denga madzhab, tetapi mengambil pendapat dari ulama lain yang sesuai dengan kemaslahatan manusia dan perkembangan masyarakat. Contoh lain tentang al-Washiyah al-Wajibah di Mesir tahun 1946, di Siria tahun 1953, di Tunis tahun 1957, di Maroko tahun 1958 di Indonesia dengan UU No. 1 tahun 1974 tidak melalui tahap-tahap seperti di Mesir. Tetapi tampaknya lansung mengambil pendapat-pendapat yang maslahat untuk diterapkan di Indonesia. Demikian pula halnya dengan PP No. 28 tahun 1977 dan pengaturan zakat di beberapa provinsi.
b. Di bidang Pendidikan
Di perguruan-perguruan tinggi Agama di Mesir, Pakistan maupun di Indonesia dalam cara mempelajari fiqh tidak hanya dipelajari satu madzhab tertentu, tetapi juga dipelajari madzhab-madzhab lain secara muqoronah atau perbandingan,bahkan juga dipelajari system Hukum Adat dan system Hukum Romawi. Dengan demikian diharapkan wawasan berpikir hokum dikalangan mahasiswa Islam menjadi lebih luas juga lebh mendekatkan Hukum Islam dengan hukum yang selama ini berlaku, bukan hanya di bidang hokum keluarga tetapi juga berbagai bidang hokum lainnya. Pendekatan semacam ini akan lebih intensif lagi apabila di fakultas-fakultas Hukum Islam, sehingga terjadi perpaduan yang harmonis sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat khususnya di Indonesia.
Sekitar tahaun 1966 di Indonesia diperkenalkan pula mata kuliah fiqh Siyasah pada Fakultas Syari’ah yang banyak berorientasi pada kemaslahatan dalammpenerapan hokum, serta menekankan prinsip-prinsi hokum dan semangat ajaran dalam Fiqih Islam. Dengan Fiqih Siyasah ini diketahui bahwa banyak sekali aturan-aturan yang berlaku yang tidak bertentangan atau bahkan sesuai dengan ajaran Islam. Pengetahuan semacam ini akan memperlancar perpaduan hukum seperti dimaksud diatas.
Satu hal yang rasanya perlu mendapat tekanan di sini ialah mempelajari Ushul Fiqh haruslah mendapat perhatian yang lebih besar lagi untuk memungkinkan ilmu fiqh berkembang lebih terarah, sebab Ushul Fiqh itulah cara pemikiran hokum dalam Islam.
c. Di bidang Penulisan Buku-buku dalam Bahasa ndonesia dan penerjemahaan
Ajaran Islam pada umumnya dan Ilmu Fiqh khususnya telah tertulis dalam puluhan ribu kitab yang berbahasa Arab. Sudah tentu ilmu-ilmu tertulis dalm bahasa Arab itu hanya sedikit orang-orang Indonesia yang mampu membaca dan memahaminya. Tetapi sekarang tampak satu kegiatan penulisan tentang Ushul Fiqh dan FIqh dalam bahasa Indonesia. Baik yang sudah dicetak dan tersebar luas di masyarakat maupun yang masih berupa diktat-diktat yang stensilan. Demikian pula halnya dengan penerjemahan menampakkan kegiatan yang meningka meskipun masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah kitab-kitab yang baik untuk diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, untuk jadi seorang ahli dalam bidang fiqh tetap harus membaca dan meneliti kitab-kitab fiqh aslinya dalam Bahasa Arab. Bagaimanapun juga kitab-kitab (buku) Ushul Fiqh dan Fiqh dalam bahasa Indonesia serta terjemahannya sangat bermanfaat untuk memperkenelkan pemikiran-pemikiran dalam bidang fiqh kepada kalangan yang lebih luas.
Pemikiran kembali tentang fiqh sedang tumbuh dan tampaknya pemikiran-pemikiran itu seperti itu alur ijtihadnya Umar, Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Hanifah. Yaitu berpegang teguh kepada dalil-dalil kulli, prinsip-prinsip umum dan semanagt ajaran, sedang yang selebihnya bias mengambil dari fiqh atau dengan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Alternafif ini rupanya yang terbaik dalam mengahadapi masalah-masalah yang bukan saja ruang lingkupnya sangat luas, tetapi juga sangat rumit dan tidak realitis apabila hanya dihadapi dengan materi fiqh yang ada, tetapi juga tidaklah Islami apabila melemperkan fiqh secara keseluruhan.

4. Sumber Ilmu Fiqih Periode Kelima
Berdasarkan peneletian talah ditetapkan bahwa dalil syara’ yang menjadi dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: Al-Qur’an, Al-Hadist,Ijma’ dan Qiyas. Dan mayoritas tokoh umat Islam telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Al-Qur’an, kedua As-Hadist, ketiga Ijma’ dan keempat Qiyas. Yakni bila kita ditemukan suatu kejadian, pertama kali dicari hukumnya dalam Al-Qur’an, dan bila hukumnya ditemukan maka harus dilaksanakan. Bila dalam Al-Qur’an tidak ditemukan maka harus dicari dalam Al-Hadist, dan bila hukumnya ditemukan maka harus dilaksanakan. Bila dalam Al-Hadist juga tidak ditemukan maka harus dilihat, apakah para mujtahid telah bersepakat tentang hukum kejadian tersebut, dan bila ditemukan kesepakatan mereka, haruslah dilaksanakan. Dan bila tidak ditemukan juga, maka harus berijtihad mengenai hukum atas kejadian itu dengan mengkiaskan kepada hukum yang memiliki nash.
Bukti mengenai penggunaan empat dalil tersebut adalah firman Allah SWT, dalam surat An-Nisa’ (59):
Artinya: “ Hai orangorang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Al-Hadist, sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tasyri’ ialah jalan yang Allah berikan kepada hambanya untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia. Pada periode kelima, (masa kebangkitan) Islam (khususnya Ilmu Fiqih dan Fiqih) telah mengalami banyak kemajuan yang semula terjadi masa kemunduran sejak pertengahan abad keempat Hijriyah sampai akhir abad ketiga belas Huijriyah. dengan kemajuan fiqih Islam, terdapat beberapa bidang yang dianggap mampu ungul dari masa sebelumnya.
Sumber hukum yang dipakai periode kelima hingga saat ini masih digunakan, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas (terdapat sumber hukum yang kedua karena tidak ditemukan dalma AL-Qur’an, serta terdapat rujukan Ijma’ dan Qiyas mengingat masalah yang timbul ditengan masyarakat semakin beragam juga ditemukan dengan terperinci dalam Al-Qur’an, tetapi tetap akan kembali pada Al-Qur’an dengan tidak melanggar laranganNya dan tetap menjalankan Syariat Islam di jalan Allah SWT).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar